I CAN DO MORE, SPIRIT!!!

I CAN DO MORE, SPIRIT!!!

Welcome To My Blog

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali, orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan menetapi kesabaran.” (Al-Ashr: 1-3)

Jumat, Desember 17, 2010

Jazakumullah Istriku



Selera makanku mendadak punah. Hanya ada rasa jengkel dan kesal yang memenuhi kepala ini. Duh, betapa tidak gemas, dalam keadaan lapar seperti ini makanan yang tersedia tidak memuaskan lidah. Sayur asem rasanya manis bak kolak pisang, sedang perkedelnya asin enggak ketulungan.
“Ummi, Ummi, kapan kamu dapat memasak dengan benar? Selalu saja begini, kalau gak keasainan, ya kemanisanlah, kepedesanlah, keasemanlah!” Aku tak bisa menahan emosi dan menggerutu.
“ Sabar, Bi. Rasulullah juga sabar terhadap masakan Aisyah dan Khadijah. Katanya mau kayak Rasul? “ Ucap istriku pelan.
“ Iya, tapi
kan Abi manusia biasa. Abi belum bisa sesabar Rasul. Abi gak tahan seperti ini terus,” jawabku dengan nada tinggi.
Mendengar ucapanku bernada emosi, kulihat istriku menundukkan kepala dalam- dalam. Kalau seudah begit, aku yakin pasti airmatanya sudah merebak. Sepekan sudah aku keluar
kota, tentu ketika pulang, benak ini penuh dengan jumput- jumput harapan untuk menemukan ‘ Baiti Jannati’ di rumahku.
Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Sesampainya di rumah kepalaku malah mumet tujuh keliling. Bayangkan saja, rumah kontrakanku tak ubahnya kapal pecah. Pekaian belum disetrika menggunung disana sini, piring – piring kotor berpesta pora di dapur. Cucian? Ouw! Berember- ember ditambah lagi bau aroma bau busuknya yang menyengat, karena berhari – hari direndam dengan deterjen tapi juga tak dicuci. Melihat keadaan seperti ini, aku Cuma bisa mengurut dada sambil beristighfar.
“ Ummi, ummi, bagaimana Abi gak jengkel kalau keadaan rumah begini trus?” ucapku sambil menggeleng – gelengkan kepala.” Ummi, istri shalihah itu tak hanya pandai dalam mengisi pengajian, tapi juga harus pandai dalam mengatur setiap detail rumah tangga. Harus bisa masak, nyetrika, nyuci, jahit baju, beresin rumah,” belum sempat kata – kataku habis, sudah terdengar ledakan tangis istriku yang kelihatan begitu pilu.
Ah, wanita gampang sekali untuk menangis, batinku berkata dalam hati.
“ Sudah diam Mi, gak boleh cengeng, katanya mau jadi istri shalihah? Istri shalihah itu tidak cengeng,” bujukku hati – hati setelah melihat air matanya menganak sungai di pipinya.
“ Gimana ga nangis! Baru juga pulang, sudah ngomel ngomel terus. Ummi ini lagi ga bisa ngerjain apa – apa, jangankan untuk kerja, untuk jalan saja susah. Ummi
kan muntah – muntah terus, ini badan rasanya gak bertenaga sama sekali,” ucapku istriku diselingi isak tangis.
“ Abi engga ngerasain sih gimana mualnya orang hamil muda,” ucap istriku lagi, sementara air matanya kulihat tetap merebak.
“ Bi, siang nanti antar Ummi ngaji yah?” pinta istriku.
“ Aduh, Mi! Abi
kan sibuk sekali hari ini. Berangkat sendiri saja yah? “ ucapku
“ Ya sudah, kalau Abi sibuk, Ummi naik bis ajah, moga jag a pingsan di jalan,” jawab istriku.
“ Lho, kok bilangnya gitu?”
“ Iya, dalam kondisi mual – mual begini kepala Ummi gampang pusing kalau mencium bau bensin. Apalagi ditambah berdesak- desakkan dalam kendaraan dengan suasana panas menyengat. Tapi, mudah – mudahan sih ga kenapa – napa,” ucap istriku lagi.
“ Ya sudah, kalau begitu, naik bajaj saja,” jawabku ringan.
Pertemuan hari ini ternyata diundur pekan depan. Kesempatan waktu luang ini kugunakan untuk menjemput istriku. Entah kenapa, hati ini tiba – tiba saja menjadi rindu padanya. Motorku sudah sampai di tempat istriku mengaji.
Di depan pintu, tampak masih banyak sepatu yang berjajar, pertanda acara belum selesai. Ku amati satu persatu sepatu – sepatu itu.
Ah, semuanya indah – indah dan kelihatan harganya begitu mahal.
Wanita memang suka yang indah – indah, sampai bentuk sepatu pun lucu – lcu, aku membatin sendiri. Tiba – tiba mataku tertuju pada sepasang sandal jepit yang diapit sepatu indah. Dug! Hati ini menjadi luruh.
Oh, bukankah itu sandal jepit istriku? Tanya hatiku. Lalu kuambil sandal jepit kumal yang tertindih sepat indah. Tes! Airmataku jatuh tanpa terasa. Perih nian rasanya memerhatikan istriku. Sampai – sampai kemana ia pergi harus bersandal jepit. Sementara teman- temannya bersepatu bagus.
Maafkan aku Maryam, pinta hatiku. Krek! Suara pintu terdengar dibuka. Aku terkaget, lantas menyelinap ke tembok samping. Kulihat dua wanita berjalan melintas sambil menggendong bocah mungil berjilbab indah dan cerah, secerah baju dan jilbab umminya. Lalu melintas wanita – wanita yang lain.
Namun, belum kutemukan juga Maryamku. Aku menghitung sudah ada delapan orang yang keluar dari rumah itu, tapi istriku masih belum keluar juga. Penantianku berakhir ketika sesosok tubuh bergamis gelap dan berjilbab hitam melintas.
Ini dia mujahidahku! Pekik hatiku. Ia beda dengan yang lain, ia begitu bersahaja. Kalau yang lain memakai baju berbunga cerah indah, ia hanya memakai baju warna gelap yang sudah lusuh pula warnanya. Diam – diam, hatiku kembali dirayapi perasaan berdosa karena selama ini kurang memerhatikan istri.
Ya, aku baru sadar semenjak menikah, aku belum pernah membelikan sepotong baju pun untuknya. Aku terlalu sibuk memerhatikan kekurangan – kekurangan istriku. Padahal dibalik semua itu, banyak kelebihanmu , wahai Maryamku. Aku benar- benar menjadi malu pada Allah dan Rasul –Nya. Selama ini, aku terlalu sibuk mengurus orang lain sedang istriku tak pernah ku urusi.
Padahal, Rasul telah bersabda,” Yang terbaik di antara kamu adalah yang paling baik terhadap keluarganya.” Sedang aku? Ah, kenapa pula aku lupa bahwa Allah meyuruh para suami agar menggauli istrinya dengan baik. Sedang aku? Terlalu sering ngomel dan menuntut istri dengan sesuatu yang ia tak dapat melakukannya. Aku benar- benar menjadi suami terzalim!
“ Maryam”, panggilku, ketika dia melintas. Lantas dia berbalik ke arahku, seakan tidak percaya atas kehadiranku. Namun, kemudian terlihat perlahan bibirnya mengembangkan senyum. Senyum bahagia.
“Abi!” bisiknya pelan dan girang. Sunguh, aku baru melihat istriku segirang ini. Ah, kenapa tidak dari dulu kulakukan menjemput istriku? Sesal hatiku.
Esoknya, aku membeli sepasang sepatu dan baju gamis untuknya plus jilbab warna gelap kesukaannya. Ketika tau hal itu, bahgia kembali mengembang dari senyunya.
“ Alhamdulillah, jazakallahu,” ucapnya dengan sura tulus.
Ah, Maryam, lagi – lagi kau terenyuh melihat polahmu. Lagi – lagi sesal menyerbu hatiku. Kenapa baru sekarang aku bersyukur memperoleh istri zuhud dan ‘iffah sepertimu? Kenapa baru sekarang pula kutahu betapa nikmatnya menyaksikan matamu yang berbinar – binar karena perhatianku?

Kamis, Desember 16, 2010

Sebaik - baik Manusia


Ternyata, derajat kemuliaan seseorang dapat dilihat dari sejauh mana dirinya punya nilai mamfaat bagi orang lain. Rasulullah SAW bersabda, "Khairunnas anfa’uhum linnas", "Sebaik-baik manusia diantaramu adalah yang paling banyak mamfaatnya bagi orang lain." (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini seakan-akan mengatakan bahwa jikalau ingin mengukur sejauh mana derajat kemuliaan akhlak kita, maka ukurlah sejauh mana nilai mamfaat diri ini? Istilah Emha Ainun Nadjib-nya, tanyakanlah pada diri ini apakah kita ini manusia wajib, sunat, mubah, makruh, atau malah manusia haram?

Apa itu manusia wajib? Manusia wajib ditandai jikalau keberadannya sangat dirindukan, sangat bermamfat, perilakunya membuat hati orang di sekitarnya tercuri. Tanda-tanda yang nampak dari seorang manusia wajib, diantaranya dia seorang pemalu, jarang mengganggu orang lain sehingga orang lain merasa aman darinya. Perilaku kesehariannya lebih banyak kebaikannya. Ucapannya senantiasa terpelihara, ia hemat betul kata-katanya, sehingga lebih banyak berbuat daripada berbicara. Sedikit kesalahannya, tidak suka mencampuri yang bukan urusannya, dan sangat nikmat kalau berbuat kebaikan. Hari-harinya tidak lepas dari menjaga silaturahmi, sikapnya penuh wibawa, penyabar, selalu berterima kasih, penyantun, lemah lembut, bisa menahan dan mengendalikan diri, serta penuh kasih sayang.

Bukan kebiasaan bagi yang akhlaknya baik itu perilaku melaknat, memaki-maki, memfitnah, menggunjing, bersikap tergesa-gesa, dengki, bakhil, ataupun menghasut. Justru ia selalu berwajah cerah, ramah tamah, mencintai karena Allah, membenci karena Allah, dan marahnya pun karena Allah SWT, subhanallaah, demikian indah hidupnya.

Karenanya, siapapun di dekatnya pastilah akan tercuri hatinya. Kata-katanya akan senantiasa terngiang-ngiang. Keramahannya pun benar-benar menjadi penyejuk bagi hati yang sedang membara. Jikalau saja orang yang berakhlak mulia ini tidak ada, maka siapapun akan merasa kehilangan, akan terasa ada sesuatu yang kosong di rongga qolbu ini. Orang yang wajib, adanya pasti penuh mamfaat. Begitulah kurang lebih perwujudan akhlak yang baik, dan ternyata ia hanya akan lahir dari semburat kepribadian yang baik pula.

Orang yang sunah, keberadaannya bermamfaat, tetapi kalau pun tidak ada tidak tercuri hati kita. Tidak ada rongga kosong akibat rasa kehilangan. Hal ini terjadi mungkin karena kedalaman dan ketulusan amalnya belum dari lubuk hati yang paling dalam. Karena hati akan tersentuh oleh hati lagi. Seperti halnya kalau kita berjumpa dengan orang yang berhati tulus, perilakunya benar-benar akan meresap masuk ke rongga qolbu siapapun.

Orang yang mubah, ada tidak adanya tidak berpengaruh. Di kantor kerja atau bolos sama saja. Seorang pemuda yang ketika ada di rumah keadaan menjadi berantakan, dan kalau tidak adapun tetap berantakan. Inilah pemuda yang mubah. Ada dan tiadanya tidak membawa mamfaat, tidak juga membawa mudharat.

Adapun orang yang makruh, keberadannya justru membawa mudharat. Kalau dia tidak ada, tidak berpengaruh. Artinya kalau dia datang ke suatu tempat maka orang merasa bosan atau tidak senang. Misalnya, ada seorang ayah sebelum pulang dari kantor suasana rumah sangat tenang, tetapi ketika klakson dibunyikan tanda sang ayah sudah datang, anak-anak malah lari ke tetangga, ibu cemas, dan pembantu pun sangat gelisah. Inilah seorang ayah yang keberadaannya menimbulkan masalah.

Lain lagi dengan orang bertipe haram, keberadaannya malah dianggap menjadi musibah, sedangkan ketiadaannya justru disyukuri. Jika dia pergi ke kantor, perlengkapan kantor pada hilang, maka ketika orang ini dipecat semua karyawan yang ada malah mensyukurinya.

Masya Allah, tidak ada salahnya kita merenung sejenak, tanyakan pada diri ini apakah kita ini anak yang menguntungkan orang tua atau hanya jadi benalu saja? Masyarakat merasa mendapat mamfaat tidak dengan kehadiran kita? Adanya kita di masyarakat sebagai manusia apa, wajib, sunah, mubah, makruh, atau haram? Kenapa tiap kita masuk ruangan teman-teman malah pada menjauhi, apakah karena perilaku sombong kita?

Kepada ibu-ibu, hendaknya tanyakan pada diri masing-masing, apakah anak-anak kita sudah merasa bangga punya ibu seperti kita? Punya mamfaat tidak kita ini? Bagi ayah cobalah mengukur diri, saya ini seorang ayah atau gladiator? Saya ini seorang pejabat atau seorang penjahat? Kepada para mubaligh, harus bertanya, benarkah kita menyampaikan kebenaran atau hanya mencari penghargaan dan popularitas saja?